Sabtu, 12 Februari 2011

Jim Supangkat

Nama :
Jim  Abiyasa Supangkat Silaen
Lahir :
Jongaya, Sulawesi Selatan,
2 Mei 1948
Pendidikan Formal  :
SD (Bandung),
SMP (Bandung),
SMA (Jakarta),
Fakultas Artistektur Universitas Parahiyangan Bandung (1969-1971),
Jurusan seni patung Fakultas Seni Rupa ITB (1970-1975),
Studi lanjutan estetika dan seni di Jurusan Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1974-1975),
Pasca-sarjana di PsychopolisArt-Academie Den Haag,Belanda, (1978-1979)

Pendidikan Informal :
Belajar melukis di Sanggar Seniman, Bandung
(1964-1966),
Belajar filsafat dan estetika kepada Romo Dick Hartoko OSJ (1973-1975),

Karya Tulis :
Lukisan, Patung dan Grafis Sidharta (STSI-Bandung, 1995),
Indonesia Modern Art and Beyond (Indonesia Fine Art Foundation, 1997),
The Contemporary Art of The Non-Aligned Country (Balai Pustaka-Jakarta, 1997),
Jim Supangkat (et.al), Outlet, Yogyakarta Within the Contemporary Indonesia Art Scene (Prince Claus Fund-Cemeti Faoundation, Den Haag-Yogyakarta, 2001) Seni Rupa Indonesia, Seni dan Budaya di Ruang Ketiga (KPG-Jakarta, 2005).

Penghargaan :
Wendy Sorensen Memoril Award dari Fakultas Seni Rupa ITB untuk karya patung terbaiknya, Torn (1975),
Indonesia Architec Association Award untuk esai dibidangarsitektur (1985),TheMinisterOfHealth Awarduntuk artikelnya mengenaikebiasaan dan kesehatanmasyarakat (1990),
Prince Claus Award (Belanda)untuk Posting Cultural Development in The Third Worldto The International World (1997)
Seniman seni rupa dan kurator senirupa ini lahir di Jongaya, Sulawesi Selatan, 2 Mei 1948, Bernama nama lengkap Jim AbiyasaSupangkat Silaen. Ia anak ketiga keluarga dokter spesialis anak yang juga kolektor lukisan, Supangkat Danusaputra. Bercita-bercita menjadi pelukis sejak kecil, Jim telah mulai melukis sejak kecil.

Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama diselesaikannya di Bandung, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Tahun 1964-1966, belajar melukis di Sanggar Seniman, Bandung. Tahun 1969-1971, melanjutkan kuliah di Fakultas Artistektur Universitas Parahiyangan, Bandung. Kemudian pada 1970-1975 kembali menempuh studi pada jurusan seni patung Fakultas Seni Rupa ITB, dan lulus bergelar Sarjana Seni Rupa dengan karya seni rupa instalasi, Kamar Seorang Ibu dengan Anaknya.

Sempat belajar filsafat dan estetika kepada Romo Dick Hartoko OSJ-penulis dan pemikir kebudayaan di Yogyakarta pada 1973-1975. Menjadi mahasiswa pendengar di Jurusan Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, studi lanjutan estetika dan seni di tahun 1974-1975. Selanjutnya, ia  menempuh pendidikan pasca-sarjana di Psychopolis Art-Academie Den Haag, Belanda, tahun 1978-1979.
Sejak tahun 1970 ia sudah mulai berpameran seni rupa secara berkelompok, di Bandung dan Jakarta. Bersama beberapa senirupawan Bandung, ia membentuk Kelompok Pamer 74 (1974) yang kemudian mengadakan pameran di Balai Budaya. Setahun kemudian, Lewat sebuah pameran di TIM, pada Agustus 1975, ia dan 10 perupa muda, muncul dengan sebuahgebrakan yang dikenal sebagai ’Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’, gerakan ini tak urung mengundang berbagai reaksi. Dalam berkarya mereka membuang sejauh mungkin imaji seni rupa (gerakan menganggapnya sebagai seni rupa lama), yaitu seni rupa yang dibatasi hanya di sekitar seni lukis, seni patung, dan seni gambar (seni grafis). Dalam pameran tersebut ia menyertakan karya seni rupa instalasinya, Kamar Seorang Ibu dengan Anaknya.

Namun umur ’Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’ tidak panjang. Tahun 1979 dinyatakan bubar. ”Justru kebubaran ini yang meyakinkan saya, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia adalah sebuah gerakan,” ujar Jim dalam sebuah ceramah di TIM, 13 Januari 1981.

Tahun 1976, Jim ikut serta dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia II di TIM. Pada Maret 1977, ia dan kelompoknya mengadakan lagi Pameran Seni Rupa Baru Indonesia ’77. Desember 1978, ia ikut serta dalam  Pameran Besar Seni Lukis Indonesia III di TIM. Dalam pameran terakhir Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1979, terbit pula buku ’Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’  (Kumpulan Karangan), yang dieditori olehnya.
Pada Juni  1987, ia berupaya membangkitkan kembali Gerakan Seni Rupa Baru, di TIM, dengan pameran seni rupa Baru ’Pasar Raya Dunia Fantasi’, yang lebih lagi menempatkan seni rupa kedalam dan sebagai objek sehari-hari supermarket. Dua tahun kemudian, juga di TIM, ia dan sejumlah kawan Gerakan Seni Rupa Baru terdahulu membuat lagi pameran seni rupa ’The Silent World’, sebuah tema bagi epidemi global AIDS, yang juga dipamerkan pada pameran ARX (Artist of Region Exhange), Perth, Australia, 1989.

Ia juga menulis sejumlah buku seni rupa yang sebagian besar muatannya adalah suatu upaya membangun paradigma seni rupa Indonesia di antara seni rupa dunia pada masa kini, di antaranya yang terpenting, yakni Lukisan, Patung dan Grafis Sidharta(STSI-Bandung, 1995), Indonesia Modern Art and Beyond (Indonesia Fine Art Foundation, 1997), The Contemporary Art of The Non-Aligned Country (Balai Pustaka-Jakarta, 1997), Jim Supangkat (et.al), Outlet, Yogyakarta Within the Contemporary Indonesia Art Scene (Prince Claus Fund-Cemeti Faoundation, Den Haag-Yogyakarta, 2001) Seni Rupa Indonesia, Seni dan Budaya di Ruang Ketiga (KPG-Jakarta, 2005). Pernah menjadi redaktur majalah gaya hidup pop paling terkenal masa itu, Aktuil, bersama Remy Syalado di Bandung. Redaktur majalah Zaman dan Tempo.

Selain buku juga menulis esai dan kritik seni rupa untuk berbagai kesempatan diskusi, seminar dan kuratorial pameran seni rupa, maupun pada sejumlah media seni rupa di dalam maupun di negara lain, seperti Art and Asia Pacific, Australia dan Asian Artnews, Hongkong. Fokus bahasannya terutama berpokok pada upaya mengontruksikan kembali wacana modernisme di dalam historiografi seni rupa Indonesia yang terlalu dikuasai oleh persoalan identias dalam konteks universalisme Barat, yang tak bisa lagi diberlakukan, karena potensi-potensin modernisme dalam seni rupa Indonesia sesungguhnya telah muncul bersama lahirnya karya-karya seni rupa Indonesia sejak pertengahan abad ke-19.

Tahun 1990, ia mulai menjadi kurator untuk Yayasan Seni Rupa Indonesia. Di tahun 1995, menjadi kurator Pameran Seni Rupa Gerakan Non-Blok, sebagai bagian dari Konferensi negara-negara Non-Blok yang diadakan di Jakarta. Mengelola Art Space di Washington DC, Amerika Serikat sejak 2001. Pada September 2003, ia menjadi kurator utama untuk CP Open Biennale International: “Interterpelation”, di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta.
Contoh Gambar JIM SUPANGKAT.




Senin, 07 Februari 2011

Basuki Abdullah


Basoeki Abdullah (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – meninggal 5 November 1993 pada umur 78 tahun) adalah salah seorang maestro pelukisIndonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia.

Masa muda

Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya Abdullah Suryosubro yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.
Pendidikan formal Basoeki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Aktivitas

Pada masa Pemerintahan Jepang, Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo.
Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang.
Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.
Basoeki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.
Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok(Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basoeki Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta.

Kehidupan Pribadi

Basoeki Abdullah selain seorang pelukis juga pandai menari dan sering tampil dengan tarian wayang orang sebagai Rahwana atau Hanoman. Ia tidak hanya menguasai soal kewayangan, budaya Jawa di mana ia berasal tetapi juga menggemari komposisi-kompasisi Franz Schubert, Beethoven dan Paganini, dengan demikian wawasannya sebagai seniman luas dan tidak Jawasentris.
Basoeki Abdullah menikah empat kali. Istri pertamanya Yoshepin (orang Belanda) tetapi kemudian berpisah, mempunyai anak bernama Saraswati. Kemudian menikah lagi dengan Maya Michel (berpisah) dan So Mwang Noi (bepisah pula). Terakhir menikah dengan Nataya Narerat sampai akhir hayatnya dan mempunyai anak Cicilia Sidhawati
Basoeki Abdullah tewas dibunuh perampok di rumah kediamannya pada tanggal 5 November 1993. Jenasahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman,Yogyakarta.
Contoh Lukisan” BASUKI ABDULLAH






Affandi

Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.


Biografi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidatoBung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India

ini adalah contoh lukisan dari affandi: